Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Doa dari Kopek: Kisah Iyung dan MakYem

 

Iyung, begitu kita semua memanggilnya.       

 Ya, kita semuanya: anak, cucu, cicit, canggah semuanya memanggil Iyung. Sebenarnya kata Iyung (Biyung) itu secara harafiah berarti Ibu. Ibu yang melahirkan, menyusui, ngeloni, ngayomi, menjadi tumpuan dan tempat mencari perlindungan bagi anak-anak kecilnya.

 Seringkali kita mengenal istilah “aduh-biyung” untuk sambat, kesakitan, berkeluh kesah menghadapi cobaan. Dalam konteks ini orang dewasapun mencari perlindungan juga kepada biyungnya. 

Perlindungan Iyung bukan hanya dalam artian fisik saja, namun juga restu, doa, ridho, ngayemne ati yang memberi kekuatan bahkan kesaktian. Dalam banyak cerita legenda, sang tokoh seperti Sarip Tambakoso yang pingsan terkena peluru kompeni bisa langsung siuman setelah diraupi dengan ujung kain jarik Ibunya.  

Hal ini menggambarkan kesaktian seorang Iyung yang melampaui segalanya.


Iyung lahir di Kopek, dusun di pelosok nan jauh dari kota. Iyung dua bersaudara dengan Lik Dariman. 

Waktu Iyung masih kecil, umur 4 tahun, sudah jadi anak yatim. Ibunya yang melahirkan Iyung meninggal. MakWek, bapaknya Iyung sendirian dengan dua anaknya yang masih kecil-kecil, sebelum kemudian menikah dengan Mbah Panut. 

Lek Dariman yang baru berumur 2 tahun dipungut oleh pamannya dan dibawa ke desa Tulung. 

Iyung remaja dinikahkan dengan MakYem. Tidak terbayangkan bagaimana Iyung dan MakYem awal mula kenal atau siapa yang mengenalkan.  

Terlepas bagaimana proses perjodohannya, yang jelas Iyung dan MakYem terbukti pasangan yang serasi. Petani-pedagang pekerja keras nan tangguh hingga berhasil membesarkan anak-anaknya yang jumlahnya sepuluh itu. MakYem sregep dan tangannya anyep. Kacang brul, kedelai, padi, sayuran apapun kalau yang ngopeni MakYem pasti subur dan panennya makmur. 

Iyung lebih banyak urusan pasca panen. Mepe kedelai sampe nginteri memisahkan sisa kulit dan kerikil, nguntili bayem dan sayuran lainnya adalah pekerjaan Iyung sehari-hari. Sebagian hasil panenan itu digendong ke pasar mangu yang jaraknya sekitar 5km. Berjalan kaki 3 jam pulang pergi nggendong hasil panenan merupakan bagian dari keseharian Iyung sebagai seorang pedagang yang tangguh.   

Iyung dan MakYem  belum mengenal sekolah. Memang jaman itu sekolahan masih terbatas hanya untuk para kompeni dan kaum priyayi. 

Kini anak, cucu, cicitnya Iyung sekolah tinggi-tinggi……… Generasi priyayi baru. Jangkahe ombo jajah negoro londo.

Post a Comment for "Doa dari Kopek: Kisah Iyung dan MakYem"