Takdir, Amanah, dan Pilkada: Sebuah Renungan Filosofis
Bagi yang terpilih, kemenangan bukanlah sekadar perayaan, melainkan awal dari tanggung jawab besar. Jabatan adalah amanah yang harus dijalankan dengan kebijaksanaan, kejujuran, dan keikhlasan. Ia bukanlah sekadar trofi kemenangan, melainkan titipan yang menuntut pemenuhan janji dan kesejahteraan rakyat. Semoga sang pemenang dapat melaksanakan tugasnha dengan kepala tegak dan hati yang tunduk kepada Sang Pencipta.
Sementara itu, bagi mereka yang belum berhasil, kekalahan adalah ujian keimanan dan kesabaran. Menerima hasil dengan logowo, ikhlas, dan lapang dada adalah cerminan jiwa yang telah memahami bahwa hidup ini tak lepas dari skenario Ilahi.
Dalam tradisi Islam, kita percaya bahwa segala sesuatu telah tertulis di Lauhul Mahfudz, kitab takdir yang tak pernah keliru. Seperti daun yang gugur, setiap kejadian di alam semesta ini terjadi atas kehendak-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an,
... dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan atas kehendakNya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An'am: 59).
Ayat ini mengajarkan bahwa hidup kita, setiap kemenangan maupun kekalahan, berada dalam genggaman-Nya. Tak ada yang kebetulan, semua berjalan dalam harmoni takdir.
Pilkada ini adalah pengingat bahwa kehidupan, sebagaimana kompetisi politik, selalu berjalan dalam bingkai takdir. Yang kita miliki hanyalah usaha terbaik, doa, dan penerimaan terhadap hasil yang telah digariskan. Sebab, pada akhirnya, semua adalah atas kehendak-Nya.
Cipaku Bandung, 30 November 2024
.
Post a Comment for "Takdir, Amanah, dan Pilkada: Sebuah Renungan Filosofis"