Seratus itu Lebih Besar dari Duaratus
Dalam sekejap, 100 ribu yang tadi terasa seperti harta karun mendadak menjadi receh di mata si anak. Wajah yang tadinya cerah kini kusut seperti kertas bekas. Ada sebuah filosofi kuno yang berkata, "Di balik setiap senyum lebar, ada potensi tangisan cemburu." Ya, anak ini tak terkecuali. Dia tidak lagi peduli pada uang 100 ribu yang dia terima. Apa gunanya bahagia kalau temannya lebih bahagia?
Tentu saja, dalam perspektif seorang filsuf jenaka, hal ini sangat manusiawi. Kita sering lupa bahwa kebahagiaan itu bukan soal angka atau jumlah, tapi lebih soal perasaan yang melekat pada hal-hal kecil—seperti 100 ribu di tangan yang cukup untuk membeli bakso atau permen kesukaan. Sebelum melihat temannya, anak ini sudah mengukir peta kebahagiaan dalam otaknya. Namun, ketika peta itu harus dibandingkan dengan peta lain yang lebih besar, peta miliknya seolah kehilangan makna.
Padahal, kalau kita pikirkan lebih dalam (dengan senyum filosofis, tentu), 100 ribu tetaplah 100 ribu. Ia tidak berubah menjadi 50 ribu hanya karena ada yang memiliki lebih. Maka, untuk apa menyedihkan diri atas kebahagiaan orang lain? Nikmati saja bakso, nasi padang, dan sego kucing kaki lima itu...
Post a Comment for "Seratus itu Lebih Besar dari Duaratus"