Tuesday, September 10, 2024

Seratus itu Lebih Besar dari Duaratus

Ah, uang! Sebuah benda ajaib yang bisa membuat orang melompat kegirangan, lalu sekejap menjadi merana. Mari kita mulai dengan seorang anak yang, dalam situasi tertentu, menerima uang 100 ribu. Wajahnya cerah, hatinya berbunga-bunga, seolah semesta berkonspirasi untuk membuat harinya sempurna. Tapi tunggu dulu—kita belum sampai pada babak tragis ini. Karena di tikungan hidupnya yang lain, muncullah temannya, dengan uang 200 ribu di tangan. 

Dalam sekejap, 100 ribu yang tadi terasa seperti harta karun mendadak menjadi receh di mata si anak. Wajah yang tadinya cerah kini kusut seperti kertas bekas. Ada sebuah filosofi kuno yang berkata, "Di balik setiap senyum lebar, ada potensi tangisan cemburu." Ya, anak ini tak terkecuali. Dia tidak lagi peduli pada uang 100 ribu yang dia terima. Apa gunanya bahagia kalau temannya lebih bahagia?

Tentu saja, dalam perspektif seorang filsuf jenaka, hal ini sangat manusiawi. Kita sering lupa bahwa kebahagiaan itu bukan soal angka atau jumlah, tapi lebih soal perasaan yang melekat pada hal-hal kecil—seperti 100 ribu di tangan yang cukup untuk membeli bakso atau permen kesukaan. Sebelum melihat temannya, anak ini sudah mengukir peta kebahagiaan dalam otaknya. Namun, ketika peta itu harus dibandingkan dengan peta lain yang lebih besar, peta miliknya seolah kehilangan makna. 


Padahal, kalau kita pikirkan lebih dalam (dengan senyum filosofis, tentu), 100 ribu tetaplah 100 ribu. Ia tidak berubah menjadi 50 ribu hanya karena ada yang memiliki lebih. Maka, untuk apa menyedihkan diri atas kebahagiaan orang lain? Nikmati saja bakso, nasi padang, dan sego kucing kaki lima itu... 


0 komentar: